Diposkan pada Lembaran Khayalan

Rubah Berekor Biru

Cr pict : https://images.app.goo.gl/d2CRhmHCiUWFjira9

by nona alubiru.

Kepingan salju berhenti berhembus mengikuti arah angin. Ia hanya Hanya turun dan menutupi jalan kecil diatara rumah rumah yang sudah tertimbun salju.

Badai salju dikawasan Kota biru dikabarkan sudah mereda sejak pukul 8 malam. Bagi pejalan kaki, diharapkan untuk berhati hati.

Ano terdiam. Suara dari radio digenggamannya memenuhi indra pendengarnya lalu berlanjut ke pikirannya. 


“Hoi Lux, siapa target selanjutnya? ” tanyanya pada seorang wanita yang tengah bersandar dipembatas jalan.

“Ada seekor tikus yang menyenggol seekor rubah berekor biru.” jawab wanita itu dingin. Sedingin salju yang sedang ia injak dan ia tendang karna kekesalan memuncak dihatinya.

“Wah nuna! Apa kau akan mempermainkannya? lagi? Aku ikut.” seru seorang laki laki dengan rambut pirangnya.

“Evan, kau tak perlu ikut. Bagaimanapun juga. Akhirnya kau yang akan mempermainkan nya. Bukan aku.” jawaban tegas mengalir diudara.

“Lux. Mari berangkat. Jika evan ingin ikut. Bukankah lebih baik?”

“Jadi… Kau meremehkan seekor rubah dengan ekor biru hm?”

“Nuna! Jauhkan pisaumu! Nanti darahnya netes loh! Salju putihnya akan berubah merah.”

Saat ini, Lux tengah menodongkan pisau merahnya kearah Ano yang masih diam ditempat. Hati ano menjerit ketakutan, karna jika ia bergerak sedikit saja atau bahkan hanya menelan ludah, lehernya akan putus dengan sendirinya. Sebegitu mengerikannya seorang lux.

Lux masih kukuh diposisinya. “Jaga ucapanmu. Atau pisauku juga akan mengambil darahmu, Ano.” ancamnya.

“Nuna. Lepaskan dia. Dia terlalu tua untuk dibunuh. Biarkan ia mati dengan sendirinya.” Bela evan.

Lux mengendorkan tangannya, lalu berjalan meninggalkan mereka berdua. Yang ditinggal hanya diam, belum berniat mengambil langkah.

“Ano. Sudah kubilang bukan. Jangan meremehkannya atau kepalamu hanya akan dijadikannya bola.” Evan memperingati Ano agar lebih berhati hati.

“Ck, aku tak akan merasa berhutang budi padamu, Evan.” jawab evan ketus. Ia tidak terima jika juniornya ini mengatainya terlalu tua.

***

Sekarang, mereka berada ditengah badai salju putih diatas bukit. Dengan satu orang terikat dikursi dan 5 lainnya memandangi orang yang tadi mereka ikat dengan sebegitu kuatnya, dan satu orang yang terduduk di bawah pohon hanya acuh tak acuh. Dan 2 orang memperhatikan mereka dari jauh.

“Tikus kecil, apa pembelaan mu sekarang?” Ucap Lux mengintimidasi.

“Aku tidak merasa jika aku butuh sebuah pembelaan. Aku benar benar merasa jika aku benar. Bukannya kau yang salah, Lux?” jawabnya angkuh.

“Tikus ini, boleh kubunuh saja?” seorang wanita menodongkan pedang runcingnya pada orang yang terikat, heza.

“Yumie, kasihanilah tikus mungil ini. Bukan berarti aku tak ingin membunuhnya. Hanya saja, aku ingin mengulitinya sedikit demi sedikit. Melihat darah bercucuran itu indah bukan?” Ve menampilkan senyum liciknya sambil memegang pundak Yumie.

“Baiklah, akan kuikuti caramu.” jawabnya sambil menyarungkan kembali pedangnya.

“Berisik.” teriak orang yang duduk dibawah pohon, Naka. “Orenji sudah mengizinkannya bukan. Lantas untuk apa menunggu. Cepat bunuh saja.” lanjutnya.

“Diamlah. Aku hanya ingin mendengar suaranya sebelum mati.” ucap lux. Ucapan itu seolah mempengaruhi malam dan lebatnya salju, serta dinginnya hati para pembunuh bayaran.

“Jadi kalian disini hanya untuk membunuhku? Sebanyak ini? Apa kelompok kalian benar benar hanya berisi pecundang kelas kakap?” ucap Heza sambil menyeringai setan.

“Wah sepertinya dia bukan lagi seekor tikus kecil. Ia hanya arwah dari tikus itu sendiri. Sebut saja, bangkai tikus.” ucap Evan sambil menodongkan pistol miliknya kearah kepala Heza.

“Semua orang benar benar ingin kau mati. Semua orang akan merelakanmu pergi.” sarkas Lux.

“tidak lux. Tidak semua. Aku yakin beberapa manusia masih menyayangi keberadaannya, walau itu hanya sebagai noda yang samar. Sadarlah sebelum ekormu menjadi merah.

“Sialan, suara itu hadir lagi. Tidak akan kubiarkan ia membuatku goyah. Bedehah.” batin Lux dalam hati.

Seminggu ini, suara itu terus menerus masuk kedalam pikirannya dan merusak konsentrasinya. Suara dari orang yang mungkin bahkan sudah ia kenal. Suara yang lembut dan damai.

Lux mengambil pisau merahnya dan mengarahkan pisau itu kebagian jantung Heza.

“lux, jika aku katakan heza hanya mencari perhatian untuk diakui, bagaimana kau akan menanggapinya? Lux, lihatlah kesekelilingmu. Lihatlah raut heza yang hanya terpatri raut ketakutan.  Hatimu belum beku seutuhnya. Lihat dia lux.”

Tangan Lux gemetar. Hatinya mulai melunak, tapi sesaat kemudian ia berteriak.

“Berisik! Enyahlah sialan. Ia membuatku malu sejauh ini, ia memfitnahku, ia dengan seenaknya menggunakan namaku untuk keperluan pribadinya! Aku benci itu!  Ia benar benar membuat wajahku hancur dan kau menyuruhku untuk berbaik hati. Siapa kau yang patut menyuruhku hah!” marahnya.

Ia melanjutkan aksinya yang tadi. Dengan cepat ia kembali menghunuskan pisaunya.

Tapi sebelum pisau itu menyentuh baju Heza, suara itu kembali terdengar dipikiran Lux.

“lux, ia hanya anak kecil. Abaikan saja. Ia belum pantas untuk dibunuh orang hebat sepertimu. mundurlah, biarkan ia sadar.”

“Kenapa kau berhenti, apa kau takut untuk membunuhku? Kau tau aku punya paman pemilik perusahaan terhebat didaerah warna. Kalau kau membunuhku, aku yakin kau akan dipenjera.”

Lux menghembuskan nafasnya kasar. Lalu tersenyum cerdik.

“Bahkan paman mu itu bisa kubunuh dengan mudahnya. Pejagaan ketat? Racun akan ada didalam makanannya sayang. Jangan meremehkan kelompokku semudah itu.” jawabnya sambil tersenyum mengejek.

“Nuna, aku saja yang membunuhnya.” ucap Evan. Jarinya sudah berada didepan pelatuk.

“Berhenti Evan. Lihatlah wajahnya. Apa kau ketakutan?” lagi lagi senyum mengejek itu hadir saat melihat haze memejamkan matanya rapat rapat dan mengeraskan rahangnya.

“Hahhhh malam ini sangat dingin, sebaiknya kau memakai pakaian yang hangat jika sudah sampai rumah nanti.” ucap lux tersenyum manis.

“Lux? Kau tak membunuhnya?” ucap Ano terkejut.

“Dia belum pantas untuk dibunuh orang profesional seperti kita. Lagi pula, sepertinya darahnya tak begitu nikmat. Busuk mungkin?” jawab Lux enteng.

“Ah aku paham. Jadi dia hanya ingin menjelekkan nama kelompok kita? Kelompok gzale yang mendunia? Sepertinya aku paham.” Yumie menanggapi dengan seringaian.

“Seperti itu ternyata. Cerdik juga arwah ini. Haha. Kau merekam percakapan kita bukan? Lalu setelah ini kau akan menyebarkan isu isu yang tak masuk akal. Aku jadi ingin tau bagaimana kedepannya nanti. Ketua pun pasti akan mengatakan “Sepertinya menarik.”. Ini seperti tenggorokan ku dialiri darah kepuasan hahaha.” Ve menjelaskan.

“Rekam?!!” kaget Ano. Beberapa detik kemudia ia menggeledah Haze dan menemukan pulpen yang berisi rekaman percakapan mereka tadi.

“Bedebah. Aku benar benar akan menembakmu.” emosi Ano sudah diambang batas, ia benar benar menarik pelatuk pistol ditanganya. Tapi dengan sigap Lux menyenggol tangan Ano dan membuat peluru itu meleset dan melaju cepat kearah pohon disamping mereka.

“Ya! Kau ingin membunuhku?!!” ucap Naka yang hampir saja terbunuh oleh peluru itu.

“Sorry.” ucap Ano.

“Siapkan Sarung tangan kalian. Kita akan mengantar tikus ini pulang.” ujar lux dengan seringaian.

Mereka menuruti perintah Lux dan membawa Haze masuk kedalam mobil dan mengantarnya pulang.

“Kenapa kau tak membunuhku?” bentak Haze.

“Sudah kubilang bukan? Kau belum pantas untuk kubunuh sekarang. Mungkin bulan depan? Ahahaha.” Jawab Lux.

“Anjing sialan!” teriaknya marah.

“Lihat, ini seperti lebih menyakitkan bukan? karena kau tak dihakimi setelah kau membunuh jiwa seseorang.” kelakar Lux.

“Wanita sialan!”

* * *

Diarah lain 2 orang memperhatikan mereka.

“Orenji. Aku yakin mereka akan membunuhnya. Ini akan sia sia. Suaramu dipikiran Lux hanya menjadi sebuah angin.”

“Hei, sha. Aku hafal betul dengan sifat mereka. Mereka hanya ingin bermain dan sedikit membuat kekacauan. Hati mereka belum sepenuhnya beku, sepertiku yang sudah diselimuti salju sekarang ini. Kau sangat payah memilih tempat persembunyian, kau tau.” ucap orenji kesal karna badannya sudah seperti bola salju.

Saat menoleh, orenji sudah menemukan tubuh sha  tertimbun salju sampai dilututnya. Dan topi yang ia kenakan sudah ditumpuki salju yang sangat tebal.

“Ya tuhan.”

⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀* * *

Sekarang mereka berlima menuju kediaman haze. Dengan haze yang masih terikat dan diberi sugesti negatif oleh mereka berlima.

“Berterimakasihlah karna kau pulang tanpa luka sedikitpun. Dan jangan lupa kami yang mengantarmu. Kau berhutang budi. Hahaha.” ucap Lux sambil menendang keluar Haze. Lalu mobil mereka melaju menembus salju dan hilang disertai hamparan salju yang mulai menumpuk.

Dijalanan itu, Haze duduk sambil memeluk lututnya sendiri. Ikatannya telah terlepas. Tapi ikatan dipikirannya membuat Ia gila. Sugesti sugesti negatif membuatnya ingin bunuh diri, sebelum seseorang menghentikan rencananya dan membawanya masuk kerumah, seorang pelayan rumah tangga dikediamannya.

Seminggu kemudian, beredar kabar jika Haze masuk rumah sakit jiwa. Ia selalu mengatakan, “Lebih baik aku mati. Aku ingin mati. Aku ingin mati! Tolong aku! Aku hanya diakui. Aku janji tak akan mengganggu kalian lagi.” hanya itu yang ia katakan. Saat ditanya siapa mereka, ia hanya bungkam dan menutup rapat rapat mulutnya.

Dan ini akhirnya. Sebulan kemudian, Haze ditemukan bunuh diri dikamar rawat rumah sakit dengan pisau tertancap dilehernya. Ia dinyatakan bunuh diri saat rekaman cctv rumah sakit ditemukan dan memperlihatkan dengan jelas jika ia sengaja menancapkan pisau buah kelehernya.

Kabar meninggalnya haze mengudara. Beberapa orang berduka dan yang lainnya merasa senang. Semasa hidupnya Haze hanya membual dan pamer keanekaragaman hidup dan limpahan hartanya. Lihat, karma sungguh nyata. Walau sedikit dibantu oleh pemeran utama.

the end

Diposkan pada Lembaran Khayalan

Kita, apa?

“Rion? Kau sudah selesai mengerjakan tugas mu kemarin? Apa kau lupa untuk mematikan ac tadi malam? Hei bangun! Lihat tumpukan tugasmu Rion. Setidaknya isi perutmu dengan sarapan yang kubuat.” Teriak Frasa sambil menguncang tubuh Rion.

“Nori? Ini masih pagi, bagaimana kau bisa ada disini? Ah aku mengantuk sekali.” igau Rion.

“Bedakan aku dengan teman wanitamu itu. Aku Frasa.” ucap Frasa dengan rasa kesal.

“Ah kau lagi. Bosan aku melihatmu.”

“Jika aku enyah, apa kau tidak akan bosan?”

“Aku akan bosan”

            Frasa tersenyum mendengar jawaban Rion. Ini sudah malam, tapi Rion baru saja terbangun dari acara kebut tugas sebelum deadline. Rion adalah mahasiswa semester terakhir dengan tumpukan tugas yang memenuhi rumahnya. Sedangkan Frasa hanya sebatas teman masa kecil bagi Rion. Jika pria dan wanita menjalin persahabatan, kalian tau kan akhirnya nanti bagaimana? Mengenaskan. Belum berakhir saja sudah sangat menyakitkan bagi kedua belah pihak.

“Makanlah terlebih dulu. Aku akan mencuci dan membersihkan rumah.”

“Kau bukan pembantuku. Lagipula kau sudah membersihkan rumahku tadi pagi. Kebiasaan remajamu tak pernah berubah.”

“Aku juga tak ingin merubahnya.”

“Jangan mengasihani ku. Aku tidak butuh belas kasihan.”

“Ya, aku tau. Yang kau butuhkan adalah kasih sayang. Dan akan kuberikan itu dengan sepenuh hati tanpa pamrih.”

            Mereka adalah teman masa kecil. Frasa yang hidup dengan ayahnya, dan Rion yang hanya sendirian. Ibu Frasa, Ayah dan Ibu rion meninggal dalam kecelakaan bus saat mereka bersama sama akan menghadiri upacara kelulusan anak tunggal mereka. Sekarang Rion hanya hidup sendiri, bahkan hak wali Rion jatuh pada ayah Frasa.

            Rumah mereka bersebelahan. Beberapa minggu ini, Karna tugas Rion yang menumpuk perhartian ekstra diberikan oleh Frasa. Tapi kadang perhatian itu menjadi kesalahpahaman dan menyebabkan mereka bertengkar seperti ini lalu mereka akan diam beberapa saat dan berbaikan saat salah satu dari mereka meminta maaf terlebih dahulu.

“Maaf” ucap Frasa.

“Hm.” Dehem Rion sambil menarik frasa untuk memeluknya. Perlakuan seperti ini pun sudah dianggap biasa.

            Mereka berdua berpelukan sambil sesekali Rion menanyakan bagaimana hari gadis dipelukannya itu. Frasa tidak melanjutkan kuliah seperti Rion,  ia lebih memilih tinggal dirumah menemani masa tua sang ayah sambil menulis beberapa novel untuk diterbitkan. 

            Pelukan itu berlangsung lama sampai perut rion berbunyi ingin diisi.

“Isi dulu perutmu. Aku membuatkanmu kentang balado dan tumis jamur. Cepat makan sebelum dingin. Aku tak akan menyuapimu.”. Rion hanya mengganguk dan memakan makanan yang sudah disiapkan Frasa.

            Sambil menunggu Rion, Frasa membereskan buku buku Rion yang berserakan dilantai, Meja dan tempat tidurnya. Lalu mengecek perkembangan tugas Rion. “Kau sudah mengerjakan 5 tugas semalam? Hari ini berapa?”

“Perjalanan masih panjang. Masih ada 23 tugas, belum dengan anakan tugas dan revisi, remedial. Apa aku resign saja jadi mahasiswa?”

“Bodoh.” Umpat Frasa lalu duduk memandang laptop Rion dan mulai membantu tugas laki-laki itu. “Kenapa kau tadi mengira aku Nori?”

“Aku bermimpi tentangnya.”

“Mimpi indah atau buruk?”

“Kenapa? Apa kau cemburu?”

            Frasa memilih diam.

“Itu mimpi buruk. Aku tidak ingin bermimpi seperti itu lagi.” Jawab rion sambil mengunyah makanannya. “Nori menyakitimu. Karna aku tidak terima aku membunuhnya. Aku tidak suka jika ada yang menyakitimu.”

“Jadi kau tidak menyukai dirimu sendiri?”

“Kenapa kau sangat berterus terang?”

“Karena kau yang menyuruhku seperti itu. Untuk tudak menyembunyikan perasaan dan tidak menahan diri didepanmu.” Frasa menghentikan jarinya yang sedari tadi lihai mengetik di atas laptop, “Padahal aku sudah menolak tapi kau masih memaksa. Aku takut jika kau merasa jika kau tak pantas untuk berada didekatku karena kau telah menyakitiku. Aku tidak ingin kau berfikiran seperti itu. Karna itu hanya membuat sakit kepala.”

“Hm…” deheman Rion membuat Frasa sedikit kesal.

“Lagipula, apa kau tau? Mustahil untuk tidak menyakiti seseorang. Hanya dengan keberadaan seseorang itu bisa menyakiti oranglain. Hidup ataupun mati mereka akan terus menyakiti.”

“Aku baru saja tau. Terimakasih telah memberitahuku.”

“Syukurlah jika kau sudah tau. Aku akan lebih berhati hati untuk tidak  menyinggung perasaanmu.” Ucap Frasa sambil melanjutkan kegiatannya yang tadi.

“Sebenarnya, kita itu apa?” pertanyaan telak dari Rion membuat kegiatan Frasa terhenti.

“Kita, sebatas teman yang tak ingin tuntas?”

“Teman.” Tegas Rion.

“Iya kita teman.” Jawab Frasa tersenyum ssambil menengok kearah Rion yang ternyata sedari tadi menatapnya dengan serius.

            Frasa beranjak berdiri dan berjalan kearah Rion. Membereskan perlengkapan makan Rion tadi dan berniat untuk segera pamit. Kisah ini, membuatnya sakit hati.

“Aku sudah meneyelesaikan tugas presentasimu. Aku juga sudah mengisi kulkasmu. Jangan lupa untuk mandi. Kau bau. Ayah menyuruhku untuk pulang cepat hari ini, aku pulang dulu. Aku akan kembali esok pagi, Selamat malam.”

“Thanks sa.” Jawab Rion sambil tersenyum.

            Frasa tersenyum lalu mengangguk. Ia pergi meninggalkan  kamar itu. Tak ada penjelasan. Mereka sama-sama maju untuk mengambil langkah tapi tak pernah menemukan garis finish. Ini yang membuat mereka hanya berada pada putaran bianglala. Tak ingin ada yang berubah, tapi ingin memulai lebih. Punya masing masing cara untuk menyembuhkan luka dan mereka mengerti keadaan mereka bagaimana. Keinginan mereka hanya dusta belaka.

the end